Diceritrakan bahwa setelah Gelgel mengalami masa keemasannya dibawah kepeminpinan Ida Dalem Watu Renggong, Raja Bali Ke IV Dynasti Sri Aji Kresna Kepakisan, setelah itu Gelgel mulai redup karena terjadi beberapa kali pemberontakan. Pemberontakan terbesar terjadi pada kepeminpinan Ida Dalem Dimade (Raja Gelgel ke-8) yang dilakukan oleh Krian Agung Maruti, sekitar tahun 1661 Masehi.
Pemberontakan dilatar-belakangi pengangkatan menantu Raja Dalem Dimade Sang Angga Tirtha menjadi Manca di Gelgel dengan gelar I Dewa Kanca Den Bencingah (tahun 1556 Masehi). Diam-diam Kyai Agung Maruti melakukan pemberontakan dengan cara mengurung Ida Dalem beserta pengikutnya di dalam istana. Berkat lindungan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, I Dewa Kanca Den Bencingah, bisa membuat lubang pada tembok dibelakang kerajaan, sehingga Ida Dalem Dimade bisa lolos dari serangan Kyai Agung Maruti. Ida Dalem keluar dari Gelgel, diiringi oleh Kyai Brang Singa dan I Dewa Kanca Den Bencingah. Disana Ida Dalem sudah dipendak oleh warga masyarakat dari Barat Sungai Bubuh, turun disungai Bubuh, lalu naik ke Barat hingga sampai di desa Alasari (Desa Blahpane Kaja sekarang). Disana beliau berhenti diiringi warga masyarakat yang masih setia kepada Ida Dalem yang berjumlah sekitar 300 (Tiga ratus) orang.
Beliau juga disertai oleh Bagawanta Isnata (Penasehat Spiritual) Ida Pendanda Wayahan Bun, dari Geria Pejeng. Di Desa Alasari ini Ida Dalem Dimade membuat tempat peristirahatan dan tempat sembahyang bersama warga pengiring. Atas nasehat ida bagawanta, disarakankan agar Ida Dalem segera membuat Puri (Keraton) untuk mengembalikan kondisi kesehatan beliau yang menurun. Dari saran Ida Bagawanta, Ida Dalem merencanakan pembuatan Puri (Keraton) dan Merajan di desa Tambangwilah (Guliang Kangin sekarang) yang berjarak sekitar 400 m ke utara dari Desa Alasari.
Sesudah berdirinya Puri dan Merajan Ida Dalem Dimade di Desa Tambangwilah (di Desa Guliang sekarang), dan diupacarai oleh Ida Pedanda Wayahan Bun, lalu Dalem pindah bertempat tinggal di Puri Tambangwilah, bersama kedua putranya. Disana baru pikiran beliau tenang dan wajah beliau berseri-seri, karena beliau sudah tenang/senang (Liang, Bhs.Bali) pikirannya. Dengan demikian Ida KE SENGGUH LIANG, mulai saat itu desa tersebut, diberi nama DESA GUHLIANG (Guliang). Sehingga diperkirakan Desa Guliang lahir pada abad ke 17 (tahun 1665 Masehi).
Salah satu hal yang juga dirasakan oleh Ida Dalem memberi rasa tenang dan nyaman setelah beliau mesiram (mandi) di sebuah mata air di sisi timur Desa Guliang di bantaran sungai Melangit. Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya untuk membangun mata air tersebut menjadi sebuah pesiraman dengan membagi menjadi 11 pancuran, dan diberi nama Pancoran Solas (Pancuran sebelas). Satu pancoran ada di atas sebagai tempat nunas tirtha untuk keperluan upacara panca yadnya, dan sepuluh pancoran di bagian bawah, yang dapat digunakan untuk pembersihan kotoran skala-niskala (jiwa-raga). Jumlah sebelas merupakan angka tertinggi atau utama dan diyakini memiliki keistimewaan, seperti meru tumpang 11 dan bade tumpang 11.
Dari cerita ini melahirkan keyakinan kepada masyarakat umum, bahwa mesiram (melukat) di Pancoran Solas dapat menyebabkan rasa tenang dan nyaman sehingga bisa membantu proses penyembuhan. Membantu proses penyembuhan didasari pada konsep eka-dasa aksara. Satu pancoran di atas melambangkan Ongkara, dan 10 Pancoran di bawah melambangkan dasa aksara (sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya) yang bersemayam dalam tubuh manusia. Prosesi malukat akan menyelaraskan posisi dan sinergi semua aksara tersebut sehingga akan terwujud ketenangan dan kenyamanan yang akan membantu mempercepat proses penyembuhan.
Ida Dalem sudah usur/tua akhirnya beliau wafat dan sudah diupacarai (Dipelebon) dikuburan (Tunon) Dalem Tengaling.
Karena Ida Dalem Dimade sudah meninggal (wafat), Ida I Dewa Agung Pemayun pindah ke Bukit Tampak Siring. Ida I Dewa Agung Jambe diajak (kependak) oleh Kyai Anglurah Sidemen dan Kyai Singarsa ke Singarsa..
Merajan Ida Dalem Dimade diserahkan kepada masyarakat Guliang dan panjak pengiring yang masih tinggal di Guliang. Karena merajan itu sudah diempon oleh semua warga masyarakat Guliang, sekarang merajan itu diberi nama : “PURA AGUNG DALEM DIMADE”. Atas kesepakatan semua warih Dalem Pura Agung Dalem Dimade, diganti dengan nama : “PURA PENATARAN AGUNG DALEM DIMADE”. Dan telah diupahayu (dipelapas) dengan upakara pecaruan agung, pemelapas, mupuk / mendem pedagingan, ngenteg linggih, pada Anggara Kliwon, Wuku Perangbakat, hari Selasa, 25 September 2007, Icaka Warsa : 1928.
Sedangkan bekas puri beliau diserahkan (Kepaica) kepada warih I Dewa Gede Keramas ( I Dewa Pungakan Keramas ).
Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, ada pembagian wilayah, dimana yang dulunya Desa Bunutin menjadi satu wilayah dengan Desa Tamanbali, terbagi menjadi dua desa/perbekelan, yaitu : Perbekel Desa Tamanbali, dan Perbekel Desa Bunutin. Demikian pula dengan desa Guliang ikut terbagi menjadi dua sesuai wilayah yaitu Guliang Kawan menjadi wilayah Desa Bunutin, dan Guliang Kangin menjadi wilayah Desa Tamanbali.