Salahsatu penghambat kemajuan desa dalam membangun dirinya adalah mental block yang terlanjur menjangkiti sebagian besar warga. Mental block adalah keyakinan-keyakinan negatif yang tertanam pada pikiran orang yang membuat mereka menjadi pesimis, stagnan dan merasa tidak mampu melakukan lompatan perubahan ke arah yang lebih baik.
Dari beberapa wawancara yang dilakukan Berdesa.com pada beberapa kepala desa dan para pegiat pembangunan desa, sesungguhnya desa-desa saat ini sudah memiliki cukup daya dukung untuk menciptakan kemajuan desa. Hanya saja, mental block yang dialami sebagian warga justru menyabotase peluang itu.
Seperti yang disampaikan Kepala Desa Dlingo, Bantul, Yogyakarta Bahrun Wardoyo pada Berdesa.com akhir April lalu. Bahrun mengungkapkan, berkali-kali ketika dirinya diundang menjadi pemateri pemberdayaan desa, para peserta yang notabene adalah para tokoh desa, tak cukup nyali untuk menyampaikan ide atau pikiranya sendiri. “ Masalahnya bukan mereka tidak memahami melainkan karena mereka pikir, orang desa itu penuh kekurangan jadi tak perlu membayangkan bisa menciptakan lompatan,” katanya.
Pikiran seperti inilah yang membuat banyak tokoh desa hanya menyimpan saja ide-ide perubahan mereka dan menganggap kemajuan desa menjadi begitu sulit. Mereka pikir orang desa tak akan pernah bisa seperti yang dilakukan orang kota. “ Ini salahsatu agenda besar yang harus didiskusikan terus-menerusdan butuh pendekatan sosial yang teat untuk membongkar mental block mereka,” katanya.
Hambatan lainnya adalah persaingan eksistensi antartokoh di desa sendiri. Banyak fakta yang menyebutkan, ketika satu atau dua orang desa memulai sebuah langkah atau kegiatan untuk memajukan desanya, malah di bully atau dituduh ‘kurang kerjaan’ oleh para tetangga. Agus Wahadi, tokoh pemuda desa di Sedayu, Jogja memaparkan, seringkali ide hebat dari anak muda dimentahkan oleh para tokoh desa atau orang merasa dirinya pintar di desa dalam forum-forum pertemuan. “ Ketika ada anak muda yang punya ide, bukannya didukung atau disempurnakan idenya tetapi malah ditentang dan selalu dinilai bakal gagal kalau dijalankan,” kata Agus. Anehnya, seringkali hal itu terjadi hanya karena si tokoh tak ingin ada orang yang lebih pintar dari dirinya.
Di Gunungkidul, sekelompok warga desa yang ingin membebaskan warganya dari kekurangan air bersih dengan membangun fasilitas air minum milik desa bahkan mendapat perlakuan menyakitkan dari warganya sendiri. “ Bahkan sampai disabotase. Bak penampungan air dimasuki batang pohon pisang. Intinya agar kegiatan itu gagal. Padahal, si pelaku itu bahkan tahu bahwa kegiatan itu positif belaka,” katanya.
Maka sebenarnya, desa-desa di Indonesia memiliki banyak potensi yang bakal membuat desanya maju tetapi karena beberapa keyakinan yang salah pada para tokohnya akhirnya ide-ide yang sedang bersemai itu mati layu dan tak pernah menghasilkan perubahan sama sekali. Mental block seperti ini harus diakhiri. (aryadjihs/www.berdesa.com)